POHON MANGGA ITU BERBUAH KEMBALI - JUARA FAVORIT 8 LOMBA CERPEN EUREKA BOOKHOUSE

Oleh Eureka | 29 Mar, 2024 |
4516
IMG-BLOG
29 03 2024

Tiga bulan berturut-turut bapak keluar masuk rumah sakit. Mulai dari pertengahan bulan puasa pada bulan Mei, hingga bulan Juli lalu. Jauh sebelum itu, aku yang kala itu duduk dibangku SMA harus bisa membagi waktu untuk mengurus bapak, juga mempersiapkan UTBK guna seleksi SBMPTN. Ketika aku hendak berangkat ke Malang untuk melaksanakan UTBK, aku meminta restu kepada bapak agar dipermudah dalam  mengerjakan soal nantinya. Tak lupa, aku juga menghubungi ibu yang tengah merantau ke luar negeri. Setibanya di Malang, aku belajar sedikit untuk me-review materi yang sudah aku  pelajari. Dan akhirnya tibalah sesi dimana aku harus bertempur dengan soal UTBK untuk 
mencapai PTN impian. Waktu berjalan begitu cepat, 105 menit pun tak terasa sudah lenyap. 


Aku bergegas berkemas untuk segera pulang ke kota asal. Setibanya dirumah, aku mencari bapak untuk mengetahui kondisi bapak kala itu,

“Pak, Silvi, pulang!” teriakku samar..

Namun bapak tidak menyaut ucapanku. Aku diarahkan Mbak Afi, kakak pertamaku bahwa bapak tengah tidur di ruang tamu. Langsung saja aku melangkahkan kaki kesana dan menggoyang-goyangkan kecil badan bapak.

“Eh, Nduk, sudah pulang,” sambil meraih tangan bapak, beliau melempar senyum 
hangat kepadaku, “Alhamdulillaah sudah pak.” Balasku dengan segera.

Aku melihat lekat wajah bapak. Nampak ada yang berbeda. Wajahnya. Pipinya. Ya, tidak salah lagi, wajahnya nampak lebih berisi, namun seperti bengkak. Aku hanya dapat menduga-nduga prasangka yang aku tuduhkan padaku sendiri. Sebelumnya, bapak sudah menderita penyakit diabetes kurang lebih 20 tahun lamanya. Dan hingga pada akhirnya, dugaanku benar. Tak lama setelah kejadian tersebut bapak harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat karena mengalami panas, dingin, dan diare berkepanjangan. Aku dan bapak diantar oleh tetangga terdekat menuju rumah sakit swasta yang berada tak jauh dari rumah. Keadaan bapak kala itu sudah lemas dan pucat pasi. Sesampainya di 
UGD, aku segera menjelaskan gejala-gejala apa saja yang dialami bapak. Dokter dan perawat yang ada didalam ruang langsung melakukan penanganan pertama untuk memperbaiki kondisi bapak terlebih dahulu. Syukurlah keadaan bapak berangsur membaik, dan dokter  menyarankan agar melakukan opname untuk perawatan selanjutnya, dan bapak meng-iyakan tawaran tersebut. Dan untung saja bapak memakai BPJS. Kala itu Mbak Silva, yakni kakak kedua atau kembaranku datang tepat waktu untuk membantu membawa barang-barang juga 
merawat bapak di rumah sakit kedepannya.

Sesampainya didalam ruang, aku melihat wajah bapak kembali membengkak tanpa sebab. Aku mengajukan pertanyaan kecil untuk bapak, “Pak, apa bapak tidak merasakan pipi sebelah kanan bapak yang membengkak?” bapak hanya menggeleng beberapa kali. Entah 
menyembunyikan rasa sakit atau memang bapak tidak merasakan apapun, yang jelas setiap aku menanyakan hal yang sama, bapak akan selalu menggeleng ringan. Dihari kedua, perawat mengatakan bahwa bapak mengalami kekurangan albumin atau hipoalbuminemia yang menyebabkan pembengkakan pada bagian tertentu dan harus mendapatkan obat khusus. Pada rumah sakit swasta, obat tersebut harus ditebus dengan biaya yang cukup mahal.

Setelah pemakaian obat tersebut, aku dan Mbak Silva merasa bahwa belum ada perubahan yang cukup. Bahkan kadar gula bapak pada saat itu terus mengalami penurunan. Akhirnya, perawat menyarankan melakukan rujuk ke rumah sakit yang berada di kota, dengan segala fasilitas dan obat yang lebih lengkap disana. Aku dan mbak memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengambil keputusan kala itu. Ya, karena aku dan mbak masih berumur 19 tahun dan di tuntut lebih dewasa diumur yang masih belia. Pukul 22.30 kami mendapatkan persetujuan dari pihak rumah sakit negeri di pusat kota, dan saat itu juga kita berangkat. Sesampainya di IGD, bapak harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan kamar. Kami harus menunggu kurang lebih satu hari lamanya agar bapak segera mendapatkan penanganan intensif. Saat itu aku menemani bapak di dalam IGD hingga akhirnya bapak harus dipindahkan ke dalam ruang isolasi untuk pengambilan swab tes. Aku dan Mbak Silva tidak diperbolehkan masuk untuk menemani bapak. Suasana pecah.

“Mbak, bapak nanti gimana di dalam kamar sendirian?” tanyaku sesenggukan pada Mbak Silva.

Kami tetap menjenguk bapak meskipun hanya lewat perawat yang berjaga. Hingga akhirnya kami mendapat kabar bahwa hasil swab tes bapak menunjukkan negatif dan dapat dipindahkan ke kamar intensif. Namun sayangnya hanya tersisa kamar biasa, padahal seharusnya bapak mendapatkan penanganan intensif saat itu juga. Tanpa pikir panjang, aku meng-iyakan agar bapak segera mendapatkan penanganan yang cukup. Akhirnya, pada pukul 24.00 WIB kami dapat melihat wajah bapak kembali. Namun yang cukup menyayat hati adalah kami mendapati bapak mengalami sesak napas hingga harus dibantu oleh oksigen. Keesokan harinya, aku dan Mbak Silva mendapati bahwa ingatan serta penglihatan  bapak mulai menurun. Beliau tak sadar bahwa yang ada dihadapannya adalah kedua anak kembarnya. Namun kejadian tersebut tak berangsur lama.

Tak lama kemudian bapak merengek minta makan, “Nduk, bapak laper. Sama haus juga.”

Aku dan mbak bergantian menyuapi dan mengelap sisa makanan maupun minuman yang ada disekitar mulut bapak. Beberapa suap dirasa cukup, bapak kembali berbaring diatas ranjang sambil sesekali  membenahkan oksigen yang menempel dihidungnya. Pengap. Mungkin itu yang dirasakan bapak kala itu. Melihat kondisi bapak yang semakin menurun, beliau tidak pernah mengeluh tentang apa yang dirasakannya. Padahal napasnya terengah-engah, beberapa bagian tubuhnya membengkak, sebagian lagi berbintik dan berair. Namun sekalipun beliau tidak pernah mengeluh. Banyak saudara yang menjenguk, mendoakan, serta turut memberi semangat  untuk kesembuhan bapak. Aku, pun saudara sebenarnya sudah memiliki firasat tak enak. Apalagi yang mengurus bapak hanya dua anak kecil yang harus bertanggung jawab penuh 
atas semua prosedur rumah sakit. Akhirnya bulik menyuruh adiknya untuk bermalam satu hari saja di rumah sakit. Jaga-jaga jika tenaga dua bocah perempuan itu perlu diisi, sedangkan bapak harus selalu ada yang menemani. 

Syukurlah, paklik datang untuk menjenguk sekaligus menjaga bapak. Mbak Silva juga meminta izin untuk pulang karena tak enak badan dan digantikan oleh Mbak Afi. Sebelum itu, setiap harinya aku menghubungi ibuk, memberi kabar bagaimana kondisi bapak terkini dengan air mata yang enggan pergi setiap kali aku bersua dengan ibuk. Selain itu aku juga  memohon agar ibuk segera pulang mengingat kondisi bapak yang semakin memburuk. Namun ternyata sulit. Majikan ibuk tetap kekeh bahwa bapak pasti akan segera sembuh. Dan ya, aku selalu berkata

“Yaudah buk, ndakpapa,” dengan menahan suara agar tidak goyang. 

Aku yang sedari enam hari lalu menjaga penuh bapak, akhirnya kuwalahan dan tertidur dengan pulas. Sebelum itu, Mbak Afi yang menjaga bapak, namun karena sama-sama mengantuk akhirnya aku dan mbak memilih untuk istirahat sejenak. Paklik menunggu diluar karena memang keterbatasan tempat kala itu. Aku yang berkeinginan segera bangun dari tidur, ternyata hanyut bersama rasa kantuk dan rasa lelah yang tak dapat terbendung. Paklik membangunkanku dan mbak dengan hati-hati seraya berucap lirih. Ucapan tersebut tak dapat aku mengerti maksudnya. Sontak aku dan mbak langsung menuju kearah ranjang bapak. Dapat aku lihat bahwa sesak yang diderita bapak sudah tak terdengar, bapak terlihat lebih tenang dan, dan aku belum mengerti kenapa  bapak hanya diam kala aku menggoyangkan dan menyebut nama bapak kala itu.

Aku, mbak, dan paklik langsung menuju ruang perawat. Benar saja. Perawat memperjelas apa yang dikatakan paklik sebelumnya.

“Mbak, yang ikhlas ya, insyaaAllah bapak sudah lebih tenang disana.” Ucap perawat tersebut dengan penuh hati-hati.


Sontak air mataku pecah dan memeluk Mbak Afi dengan erat. Aku langsung menghubungi saudara terdekat dan juga Mbak Silva. Aku tak tega menghubungi ibuk yang tengah berada jauh dari keluarga. Dan ketika aku menghubungi ibuk, tangis ibuk pecah. Aku pun tak dapat membendung pedihnya kehilangan seseorang yang amat aku cintai. Tak lama, ketika azan subuh mulai samar terdengar, saudaraku datang menenangkan. Jenazah bapak dibawa menuju ruang jenazah dan kemudian bersiap untuk dibawa ke rumah duka. Aku  dengan bulik masuk ke dalam mobil jenazah dengan suasana duka mendalam.

Sesampainya mobil jenazah dirumah, aku memeluk Mbak Silva dan saudara yang ada disana. Kami hanyut bersama air mata yang tak dapat dibendung. Setelahnya, aku dan kedua mbakku memandikan jenazah bapak. Aku berusaha menahan tangis kala itu. Dan ketika pelaksanaan sholat jenazah, syukur alhadulillaah banyak jamaah yang hadir untuk melepas  bapak yang terakhir kalinya. Setelah itu, prosesi pelepasan keluarga selesai dilaksanakan. Jenazah harus segera dimakamkan. Saat prosesi pemakaman, aku tak kuasa menahan air mata. Tumpah. Sungguh kepergian yang teramat cepat sebagai sosok yang sangat aku cintai.
***
Singkatnya, ibuk bisa pulang tepat hari ke delapan setelah kepergian bapak karena harus menjalankan swab tes di Jakarta yang cukup lama. Ah, lagi-lagi suasana pecah dan air mata berjatuhan tanpa aba. Aku dan mbak berusaha menenagkan ibuk. Setelahnya, kami 
beristirahat bersama dan melanjutkan kegiatan esok hari. Pak, putri bungsumu ingin bercerita. Setelah kepergianmu dunia banyak berubah.  Aku, ibuk, dan juga kedua kakakku banyak belajar pengalaman pahit manisnya hidup darimu. Kini, kolam ikan gurami yang menjadi aset jangka panjang telah kami rawat bersama. Sejak kecil, Mbak Afi, Mbak Silva, dan juga aku, Silvi, tak jarang ditempa dengan harus memberi makan ikan, entah saat terik maupun saat hujan. Pak, aku ingat betul engkau menanam banyak buah di kolam.

Dulu engkau pernah berkata, “Nanti kalau berbuah banyak kalian tidak usah beli. Tidak usah. Kadang buah yang kalian beli banyak mengandung obat. Jadi, bisa deh, langsung metik buah di kolam.”

Ah, pak, mulia sekali engkau. Membahagiakan anakmu dengan pengalaman dan juga penanaman ilmu yang tak akan aku dapat ketika berada di sekolah atau dimanapun nantinya. Dan, pak, kini buah mangga itu sudah berbuah kembali. Manis. Buahnya ranum. Sekarang ibuk yang 
mengupaskan buahnya, dulu kan, bapak, hehe. Aku merindukan mu pak. Kalau Silvi rindu, Silvi kerap main ke kolam. Mengingat banyak kenang, banyak buah juga pastinya. Semoga putri bungsumu bisa menanamkan banyak kebaikan seperti bapak yang menanam benih kebaikan di setiap tanahnya. Silvi benar-benar merindukan bapak.

Penulis: SILVI NUR S.

Generic placeholder image

DITULIS OLEH

Eureka Writer

Content Writer

Content Writter eurekabookhouse.co.id

New Entry